Jakarta – Rencana Presiden Prabowo menghapus sistem outsourcing dinilai sebagai langkah progresif dalam memberikan kepastian kerja bagi para tenaga alih daya di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menyebut kebijakan tersebut berpotensi mendorong perusahaan untuk mengangkat tenaga kerja outsourcing menjadi pegawai tetap.
“Sehingga mereka mendapat kepastian menjadi pegawai dan ada peningkatan kesejahteraan,” ujar Esther.
Meski begitu, Esther mengingatkan bahwa kesiapan finansial perusahaan menjadi tantangan tersendiri. Pengangkatan pekerja alih daya sebagai karyawan tetap menuntut perusahaan mematuhi peraturan ketenagakerjaan, termasuk pemberian upah sesuai UMR, asuransi kesehatan, dan jaminan kecelakaan kerja.
“Ini dianggap meningkatkan biaya produksi perusahaan dan berdampak pada harga jual produknya lebih mahal,” jelasnya.
Presiden Prabowo sebelumnya menyampaikan komitmennya dalam perayaan Hari Buruh 1 Mei 2025 di Jakarta. Ia menegaskan bahwa pemerintah akan segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional sebagai bagian dari upaya penghapusan sistem outsourcing. Dewan ini diharapkan dapat menjadi penasihat Presiden dalam menyusun arah kebijakan ketenagakerjaan, dengan tetap menjaga keseimbangan iklim investasi nasional.
Menindaklanjuti arahan Presiden, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyusun Peraturan Menteri mengenai sistem outsourcing.
“Kebijakan Presiden yang disampaikan pada perayaan May Day 2025 terkait outsourcing tentunya akan menjadi kebijakan dasar dalam penyusunan Peraturan Menteri tentang outsourcing yang saat ini sedang disusun,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden Partai Buruh sekaligus Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyatakan keyakinannya bahwa Presiden Prabowo memiliki keberpihakan terhadap rakyat kecil, termasuk petani, guru, dan buruh.
“Tapi kami percaya, Bapak Presiden Prabowo ada keberpihakan pada orang kecil, kepada guru, kepada petani, dan kelas pekerja lain sebagaimana disampaikan dalam pidato 1 Mei 2025,” kata Said Iqbal.
Said menekankan bahwa yang menjadi masalah utama adalah sistem outsourcing melalui agen tenaga kerja, bukan outsourcing pekerjaan antarperusahaan.
“Kalau outsourcing pekerjaan itu oke, misal pabrik TV memberikan outsourcing pekerjaan pembuatan remot ke pabrik remot, itu boleh. Yang enggak boleh adalah tenaga kerja melalui agen,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bentuk-bentuk lain yang dianggap sebagai penyelundupan outsourcing, seperti pemagangan dan sistem kemitraan.
“Yang enggak boleh adalah orang magang tapi sebenarnya outsourcing berkedok pemagangan, yang tidak boleh adalah sistem mitra,” tegasnya.
Pemerintah kini tengah memastikan transisi dari sistem outsourcing menuju sistem ketenagakerjaan yang lebih menjamin hak pekerja dapat berlangsung mulus, tanpa mengganggu stabilitas ekonomi nasional dan daya saing industri.