Oleh: Melianus Tabuni )*
Pemerintah kembali menegaskan bahwa kehadiran Sekretariat Badan Khusus Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BK Papua) di Jayapura bukan berarti Wakil Presiden akan berkantor tetap di Papua. Penempatan ini adalah strategi kelembagaan yang bersifat administratif untuk mendekatkan layanan dan mempercepat proses pembangunan di Papua secara lebih nyata, sekaligus menepis spekulasi publik yang berkembang. Penjelasan ini menjadi penting agar tidak terjadi salah tafsir terhadap posisi konstitusional Wakil Presiden dan arah kebijakan pembangunan Papua.
Framing bahwa Wakil Presiden akan menetap di Papua secara permanen tidak sesuai dengan realitas konstitusional. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, posisi Presiden dan Wakil Presiden terikat pada keberadaan Ibu Kota Negara sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena itu, penempatan Sekretariat Badan Khusus di Jayapura merupakan bentuk penguatan kelembagaan di daerah, bukan relokasi kekuasaan. Hal ini memperjelas bahwa negara tetap menghormati tatanan hukum sekaligus berinovasi dalam pendekatan pembangunan kawasan timur Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa yang berkantor di Papua adalah kesekretariatan dan personalia pelaksana dari badan khusus, bukan Wakil Presiden secara pribadi. Penegasan ini sejalan dengan amanat Pasal 68A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Dengan demikian, publik seharusnya melihat kebijakan ini sebagai bentuk kehadiran negara secara struktural, bukan perpindahan fungsi wakil kepala negara.
Langkah ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak sekadar menjadikan Papua sebagai objek kebijakan, melainkan wilayah yang setara dalam arsitektur pembangunan nasional. Dengan adanya kesekretariatan di Jayapura, kerja koordinatif antarinstansi dan lintas sektor dapat dilakukan lebih cepat dan efisien. Hal ini penting mengingat kompleksitas geografis dan sosial di Papua yang selama ini menjadi tantangan besar dalam implementasi program-program pusat.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menambahkan bahwa kantor sekretariat tersebut hanya digunakan sebagai titik koordinasi dan pusat administrasi saat Wakil Presiden berada di Papua, bukan sebagai kantor tetap. Penjelasan ini menutup ruang spekulasi yang tidak berdasar dan mengarahkan fokus publik pada substansi kebijakan. Sekretariat yang bersifat operasional ini akan menjadi jembatan koordinasi antara pusat dan daerah, sekaligus mempercepat eksekusi program pembangunan.
Badan Khusus Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua sendiri telah dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2022. Dalam struktur badan ini, keterlibatan langsung perwakilan pemerintah daerah di Papua menjadi instrumen penting untuk menjamin relevansi kebijakan. Dengan demikian, pendekatan yang diambil bukan top-down secara sepihak, melainkan kolaboratif antara pusat dan daerah. Ini menjadi sinyal bahwa pemerintah menghargai kearifan lokal dalam proses pembangunan.
Model ini juga mencerminkan transisi pendekatan pembangunan dari Jakarta-sentris menuju format yang lebih regionalistik dan inklusif. Diharapkan, kehadiran kesekretariatan tersebut akan mampu mempersingkat rantai birokrasi, memperkuat perencanaan berbasis wilayah, dan mempercepat realisasi proyek strategis. Upaya ini juga dapat memperbaiki persepsi masyarakat Papua terhadap perhatian pemerintah pusat yang selama ini dianggap kurang menyentuh akar masalah.
Lebih dari sekadar simbolik, langkah ini menunjukkan transformasi paradigma kebijakan publik dalam menjawab tantangan ketimpangan wilayah. Dengan mendekatkan perangkat koordinasi ke lokasi yang menjadi fokus perhatian pembangunan, respons pemerintah terhadap persoalan Papua akan semakin cepat, tepat, dan terukur. Hal ini sejalan dengan visi pemerintahan untuk membangun dari pinggiran dan mengedepankan keadilan sosial.
Penting untuk ditekankan bahwa kebijakan ini bukan semata bentuk politisasi atau pencitraan, melainkan realisasi dari mandat Undang-Undang Otsus Papua yang telah diperbarui. Dalam konteks ini, kehadiran sekretariat di Papua adalah bagian dari grand design otonomi khusus yang tidak hanya mendistribusikan anggaran, tetapi juga memperkuat kapasitas institusi daerah dalam menyerap dan mengelola pembangunan. Ini menandai keseriusan pemerintah dalam mengawal transformasi Papua secara sistemik dan berkelanjutan.
Kehadiran Sekretariat Badan Khusus di Jayapura juga dapat berfungsi sebagai laboratorium kebijakan publik di wilayah timur. Dengan lokasi strategis ini, para pemangku kepentingan memiliki akses langsung untuk merumuskan solusi kontekstual atas berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat Papua. Selain itu, kantor ini diharapkan menjadi simpul sinergi lintas kementerian, lembaga, dan otoritas lokal dalam mendukung agenda percepatan pembangunan.
Dalam kerangka nasional, strategi ini patut diapresiasi karena tetap menjaga konstitusionalitas pejabat negara sambil menghadirkan inovasi kelembagaan. Ini adalah bukti bahwa pemerintahan tidak harus mengorbankan tatanan hukum demi pragmatisme pembangunan, melainkan mampu menciptakan titik temu antara keduanya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pemerintah terus belajar dan beradaptasi, terutama dalam menyusun kebijakan yang menyentuh wilayah-wilayah dengan karakteristik khusus seperti Papua.
Secara keseluruhan, penempatan Sekretariat Badan Khusus Papua di Jayapura adalah langkah konkret dan strategis dalam memperkuat arsitektur pembangunan yang berkeadilan. Penegasan bahwa Wakil Presiden tidak pindah kantor ke Papua memperlihatkan kedewasaan komunikasi publik pemerintah dalam menangkal disinformasi dan memastikan bahwa kebijakan tetap berakar pada norma konstitusi. Dengan penguatan kelembagaan ini, Papua tidak hanya menjadi perhatian simbolik, tetapi bagian integral dari desain besar pembangunan Indonesia.
)* Penulis merupakan Pengamat Pembangunan Papua