Bagi masyarakat daerah pinggiran seperti Rembang, Jawa Tengah, bisa mencicipi Mie Gacoan tetap merupakan kemewahan. Alhasil, momen pertama kali makan di gerai aneka mie pedas itu malah berujung bingung dan malu.
Mie Gacoan simbol daerah maju atau tertinggal
Di Rembang akhirnya ada Mie Gacoan. Beberapa akun menfess Rembang kebanyakan memakai kutipan itu untuk menyambut dibukanya Mie Gacoan di Jl. Dr. Soetomo, Leteh, Rembang kota belum lama ini.
Bukanya Mie Gacoan memberi perasaan riang bagi sebagian banyak orang Rembang, terutama anak-anak muda. Sebab, dengan bukanya gerai mie tersebut, Rembang tidak terus-menerus dianggap sebagai daerah tertinggal.
Pasalnya, di daerah-daerah kabupaten pinggiran seperti Rembang, memang ada indikator unik untuk mengukur maju atau tertinggalnya sebuah daerah. Jika suatu daerah tidak terjamah gerai modern dan ternama—misalnya Gacoan—maka dianggap tertinggal.
Di media sosial, banyak warga Rembang merasa “terharu”: akhirnya bisa merasa maju karena punya Mie Gacoan sendiri, meski agak telat dari daerah tetangga seperti Tuban, Blora, dan Pati.
Banyak warganet Rembang yang juga berharap agar kedepan makin banyak gerai-gerai modern dari beragam brand terkenal berdiri di kota pesisir pantura tersebut.
Tak mau ketinggalan dari yang viral-viral
Awal Mei 2025 lalu saat sedang pulang ke Rembang, saya pun langsung tancap gas ke Jl. Dr. Soetomo, Leteh, bersama istri, adik, dan teman adik saya.
Kami sengaja berangkat awal (di jam sebelas siang), biar tidak antre-antre amat. Karena jika melihat di media sosial, suasana berjubel dan penuh sesak akan terjadi di jam-jam sore hingga malam.
Meski begitu, siang itu banyak kursi yang terisi. Kebanyakan justru ibu-ibu bersama anaknya yang masih SD atau SMP. Hanya ada beberapa anak muda yang tampak.
“Nuruti anak ini loh, Mas. Katanya mie viral. Biasa sekarang kan nggak mau ketinggalan yang viral-viral,” ujar seorang ibu-ibu yang duduk menanti anaknya yang tengah mengambil pesanan.
Kami berbincang lantaran si ibu sebelumnya berujar, “Mau makan mie saja kok repot sekali. Harus pakai alat (maksudnya calling system). Terus harus ambil sendiri.”
Si ibu mengaku tidak tahu apa itu Mie Gacoan. Itu adalah momen pertama kalinya dia dan sang anak mencicipinya.
Bingung cara pesan di Mie Gacoan
Jujur saja, sejak di Surabaya dulu saya jarang makan di gerai-gerai terkenal. Saya pasti akan bingung bagaimana cara memesannya. Untungnya ada istri yang jauh lebih terbiasa. Jadi saya agak terbantu.
Tapi di Mie Gacoan Rembang siang itu, saya menyaksikan ada beberapa orang—mungkin orang desa dan baru pertama kali ke gerai modern seperti Mie Gacoan—benar-benar kebingungan perihal bagaimana caranya memesan.
“Saya pikir pesannya di depan. Pas mau pesan disuruh duduk dulu. Pesan lewat meja. Saya bingung,” ungkap seorang ibu-ibu yang datang bersama anaknya yang masih SD kepada salah seorang karyawan Mie Gacoan.
Sistem pesannya secara online melalui barcode yang terpajang di setiap meja. Metode seperti itu sungguh masih awam bagi masyarakat Rembang. Wajar saja jika masih banyak yang kebingungan.
Untungnya, si ibu punya inisiatif untuk tanya ke keryawan Mie Gacoan yang melintas untuk dijelaskan bagaimana seharusnya cara memesan makanan.
Malu tidak bisa pakai sumpit
Sering kali orang desa akan bermasalah jika berhadapan dengan sumpit. Dan itulah yang pernah saya rasakan sendiri saat pertama kali merantau ke Surabaya. Diajak makan pakai sumpit, jelas merucut-merucut.
Begitu juga yang terjadi siang itu. Di meja-meja terdekat saya, beberapa tampak coba-coba makan mie pakai sumpit. Tapi karena tak kunjung bisa, akhirnya memutuskan meminta ganti sendok saja.
Adik saya dan temannya pun demikian. Istri saya mengajari mereka bagaimana caranya menyumpit. Adik saya langsung bisa meski agak kaku, sementara temannya bersusah payah betul mencekeram mie di mejanya dengan sumpit.
“Angel tenan arep mangan mi wae (Susah betul mau makan mie aja),” keluh teman adik saya yang sontak kami sambut dengan tawa.
“Mentolo tak puluk wae (Keburu kumakan pakai tangan saja),” sambungnya.
Kata adik saya, sepulang dari Mie Gacoan, temannya itu mengaku malu betul karena tidak bisa makan pakai sumpit. Sementara orang-orang di sekelilingnya tampak seperti sudah menguasai metode makan dengan alat itu.
Bayar pakai QRIS itu apa?
Kebingungan pertama kali makan di Mie Gacoan masih berlanjut di meja kasir. Saat kasir menyebut nominal yang harus dibayar dan memberi pilihan: Mau (bayar) cash atau QRIS? Ada yang bisik-bisik: “QRIS itu apa?”
Masih banyak orang Rembang yang belum akrab dengan metode pembayaran QRIS. Dan memang masih banyak toko atau warung yang belum menggunakan metode tersebut.
Saya saja baru akrab dengan QRIS belakangan, karena sebelumnya sudah terlalu nyaman dengan cara konvensional.
Terlepas dari kebingungan-kebingungan itu, keberadaan Mie Gacoan setidaknya memberi rasa percaya diri bagi orang Rembang—terutama kalangan anak muda. Sehingga ketika ada yang bertanya, “Di Rembang emang ada Mie Gacoan?” Maka tinggal jawab saja dengan mantap, “Ada dong!”.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang pasti berujung jadi bahan ceng-cengan sebagai daerah tertinggal.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi