Ternyata tidak setiap desa memiliki tradisi guyub di setiap momen Idul Adha (kurban). Kendati di hari raya umat Islam ini, sedianya menjadi momen untuk berbagi—dalam bentuk daging kurban—kepada orang-orang membutuhkan.
Perbincangan dengan beberapa narasumber justru membuka tabir kusam sebuah komunitas masyarakat desa dalam menyikapi hari raya ini.
Gangguan saat jualan kambing kurban
Idul Adha tahun ini, Hasan (50) memang tidak berniat menjual banyak kambing. Tidak seperti di tahun-tahun sebelumnya. Setelah berdiskusi dengan “ahli spiritual”, persaingan di dunia jual-beli kambing ternyata masih mengerikan.
Hasan masih ingat jelas pada momen Idul Adha 2024 lalu. Menjelang hari raya penyembilan kurban, dia mengaku sangat semangat untuk menjual kambing-kambingnya di sebuah pasar hewan di Rembang, Jawa Tengah.
Dia optimis kambingnya bakal laku karena gemuk-gemuk dan sehat. Apalagi lapak dagangnya berada tidak jauh dari gapura pasar.
Namun anehnya, setiap orang yang datang ke pasar hewan seolah tidak melirik keberadaannya sama sekali. Bahkan sekalipun Hasan menyaringkan suara untuk menawarkan kambing-kambingnya. Hingga sehari sebelum hari raya kurban, hanya satu kambing Hasan yang laku di pasar.
“Setelah tanya ke orang pintar (ahli spiritual), ternyata ada yang ganggu. Jalur gaib. Dibuat seolah daganganku nggak kelihatan,” ungkapnya kepada Mojok.
Saling jegal untuk meraup keuntungan
Sementara di tahun ini, sejak bulan lalu Hasan merasa diikuti hal-hal sial. Kambing yang dia proyeksikan untuk dijual sakit-sakitan, alhasil tidak doyan makan sehingga menjadi kurus. Tentu tidak akan ada yang tertarik membeli.
“Saya sendiri juga ikut sakit. Nggak kuat cari rumput,” sambungnya.
Kata Hasan, hal semacam ini sudah dia hadapi sejak puluhan tahun bergelut di dunia jual-beli kambing. Kata Hasan, tidak heran jika beberapa temannya selalu memberi doa-doa khusus agar kambingnya tidak hanya laku, tapi juga aman dari serangan. Sementara Hasan memilih pasrah kepada Allah Swt. Senantiasa memohon pertolongannya.
“Kadang bejo (beruntung). Laku. Nggak ada gangguan. Kadang ya seperti ini. Sekali laku, ya laku keras. Sekali kena gangguan, ya ambruk seambruk-ambruknya,” katanya.
Tidak cuma di hari raya Idul Adha, gangguan serupa juga kerap Hasan rasakan di hari-hari biasa. Di balik ramah tamah para pedagang kambing di pasar, ternyata ada siasat untuk saling jegal.
Nelangsa karena orang-orang pamer
Sementara bagi Wanah (30), juga asal Rembang, Idul Adha kerap menjadi ajang pamer yang membuat orang miskin nelangsa.
Wanah sendiri sebenarnya berkecukupan. Namun, ada dua tetangga dekat rumahnya persis yang bisa dibilang kekurangan.
Kata Wanah, sering kali tetangganya itu nelangsa karena merasa belum ber-Islam secara sempurna karena dua hal: ibadah haji atau setidak-tidaknya berkurban.
“Nah, kalau ada orang pamer seperti ini, tetangga yang, mohon maaf, nggak punya, jadi merasa sedih karena merasa belum bisa beribadah dengan sempurna karena nggak bisa kurban,” sambungnya.
Hukum kurban adalah sunnah muakkadah (sunnah yang dianjurkan) bagi yang mampu. Tidak wajib. Namun, di desa, tekanan lingkungan akhirnya membentuk pola pikir bahwa kurban adalah perkara yang wajib dipenuhi.
Nama-nama orang kurban yang disiarkan
Kata Wanah, rasa nelangsa itu juga muncul lantaran mendengar nama-nama orang berkurban yang disiarkan.
Ulama-ulama Mazhab Syafii berpendapat, tidak ada larangan dalam urusan menyiarkan nama orang yang berkurban. Tidak juga diwajibkan. Artinya boleh-boleh saja.
Sebab, menyiarkan nama-nama orang yang berkurban bisa jadi menjadi jalan dakwah untuk mengajak umat Islam berlomba-lomba dalam berbuat baik.
Dengan catatan, siaran nama tersebut tidak dilebih-lebihkan apalagi sampai pada tahap berdutsa. Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar al-Nawawiyah bahkan menghukumi haram jika penyiaran nama cenderung hiperbolis dan dilandasi kebohongan. Di sisi lain menghukumi sunnah jika diniatkan sebagai dakwah.
Penyiaran nama itupun janganlah sampai membuat seseorang menjadi sombong dan riya (pamer). Tapi seharusnya melatih ikhlas, rendah hati, dan mendorong seseorang untuk senantiasa berbuat baik demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Sebab, kurban, merujuk pendapat sejumlah ahli tafsir berakar dari kata qaraba yang berarti dekat: mendekatkan diri kepada Allah Swt.
“Sayangnya, di desaku, ada saja yang berkurban dengan motif pengin sombong,” ungkap Wanah.
Orang miskin justru tak kebagian daging kurban, sementara orang mampu “berpesta”
Masih dari Wanah, sering dalam momen Idul Adha dia mendapati tetangganya yang kurang mampu hanya duduk tercenung di teras rumahnya demi menanti pembagian daging kurban. Tapi berujung tidak kebagian sama sekali.
Itulah kenapa, Wanah—belajar dari ibunya—sengaja akan beli daging sendiri menjelang Idul Adha. Daging itu untuk dia olah sendiri, biar tetap bisa merasakan suasana Idul Adha.
Sedangkan jika dapat daging kurban dari panitia, biasanya akan dia bagikan ke tetangganya yang tidak dapat.
“Setahuku dari ngaji, kalau yang utama (diberi daging kurban) itu fakir miskin,” ucap Wanah. “Ini kok fakir miskinnya sering kelewatan.”
Ada alasan kenapa situasi tersebut bisa terjadi di desa Wanah. Pembagian kurban di desanya kerap didasarkan karena faktor kedekatan. Jika dekat dengan salah seorang panitia, alhasil akan kebagian banyak.
“Masalahnya, panitia kurban di sini terbagi banyak. Masjid punya sendiri, musala sendiri, kelompok khotmil Qur’an punya sendiri. Data mereka kan mirip-mirip. Akhirnya orang yang kebagian itu-itu saja. Nggak merata,” beber Wanah.
Wanah termasuk dalam kategori orang yang dekat dengan banyak panitia kurban. Karena suaminya termasuk tokoh agama muda di desanya. Alhasil, Wanah ketiban banyak sekali daging kurban.
Karena merasa sistem itu tidak adil bagi orang tak mampu yang tidak kebagian, maka Wanah dan suaminya memilih membeli daging sendiri. Lalu daging pemberian panitia dibagikan ke tetangg.
Wanah dan suaminya menyadari mereka tidak bisa mengubah sistem yang sudah lama berlaku. Oleh karena itu, mereka mencoba mengubah dari keluarga mereka sendiri.
Gus Baha: jangan tamak saat Idul Adha
Dalam beberapa kali momen ngaji, KH. Bahaduddin Nursalim (Gus Baha) menyebut, hakikat hari raya—termasuk Idul Adha—adalah hari senang-senang: yaumu aklin (hari makan-makan).
Maka ketika seseorang merasa tidak mampu berkurban kambing atau sapi, tidak ada masalah jika menyembelih hewan lain dengan bobot di bawahnya. Tentu dengan catatan hewan tersebut halal, seperti ayam, ikan, dan lain-lain. Niatnya adalah untuk ikut merayakan hari raya. Hukum ini merujuk pada riwayat Ibnu Abbas.
Kaidah fikihnya adalah: Ma la yudroku kulluhu la yutroku kulluhu (Sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan semuanya (secara ideal), ya jangan lantas ditinggalkan sama sekali).
Selain agar tetap bisa bungah karena bisa menyembelih, menyembelih hewan dengan bobot yang lebih kecil itu juga mengurangi potensi tamak: berharap dapat bagian daging kurban, jika tidak kebagian merasa kesal.
Bahkan kalau memungkinkan, Gus Baha lebih menganjurkan lebih baik membeli daging sendiri untuk diolah di Idul Adha, agar jangan terlalu tamak terhadap pembagian daging kurban.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi