Oleh: Esti Kumalasari )*
Pemerintah melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan komitmen kuat dalam menciptakan generasi masa depan yang sehat dan berkualitas. Namun, sebagaimana program strategis nasional lainnya, pelaksanaan MBG tidak hanya membutuhkan semangat dan regulasi, tetapi juga kesiapan infrastruktur di tingkat daerah, terutama dalam hal penyediaan lahan untuk mendukung berdirinya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dalam konteks inilah, penyediaan lahan menjadi titik krusial bagi percepatan keberhasilan program MBG.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komjen Pol Tomsi Tohir, menegaskan pentingnya partisipasi aktif seluruh pemerintah daerah (Pemda) dalam mempercepat proses identifikasi dan penyediaan lahan. Menurutnya, percepatan pengumpulan data lahan sangat penting agar pelaksanaan program MBG di berbagai daerah dapat segera terealisasi secara merata. Dari data tersebut akan dicek mana lahan yang layak dan mana yang tidak layak untuk kemudian diserahkan ke Badan Gizi Nasional (BGN).
Pernyataan tersebut menggambarkan adanya sistem kerja yang sistematis, terukur, dan terkoordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah tidak hanya berhenti pada pengumuman program, tetapi juga membangun ekosistem implementasi yang kuat. Penekanan pada kualitas lahan yang diajukan oleh pemerintah daerah juga menunjukkan bahwa program ini tidak asal-asalan. Proses verifikasi akan menjadi penyaring penting agar SPPG benar-benar dibangun di tempat yang strategis, produktif, dan mudah dijangkau masyarakat.
Langkah nyata telah ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Sekretaris Daerah Provinsi Sulsel, Jufri Rahman, menyampaikan bahwa pihaknya telah mengajukan 92 titik lahan untuk pembangunan SPPG, melebihi target awal dari pemerintah pusat yang hanya menetapkan 84 titik. Ini bukan sekadar angka, tetapi bentuk nyata dari kesiapan dan komitmen pemerintah daerah dalam menyukseskan program nasional. Dengan jumlah tersebut, kesiapan Pemprov Sulsel dalam mendukung program strategis nasional MBG telah mencapai 100 persen.
Namun demikian, Jufri juga mengingatkan bahwa seluruh lahan yang diajukan tetap harus melalui proses verifikasi dari pemerintah pusat. Artinya, Pemprov Sulsel tidak hanya mengedepankan kuantitas, tetapi juga memperhatikan kualitas dan kesesuaian fungsi lahan terhadap tujuan program. Pendekatan seperti ini patut diapresiasi dan dijadikan teladan bagi daerah lain di Indonesia.
Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, juga telah memberikan arahan yang jelas: setiap kepala daerah diminta mengusulkan minimal tiga titik lokasi tanah di wilayah masing-masing. Arahan ini memiliki dimensi strategis yang penting, yakni membangun basis data awal dan memastikan bahwa setiap wilayah memiliki opsi yang dapat segera ditindaklanjuti. Langkah ini diharapkan dapat membantu mengatasi keterbatasan jangkauan BGN, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Pendekatan ini sejalan dengan semangat inklusivitas pembangunan nasional. Program MBG tidak boleh hanya dinikmati oleh masyarakat perkotaan atau daerah maju, melainkan harus menjangkau seluruh anak bangsa, termasuk di wilayah 3T. Dalam kerangka inilah, penyediaan lahan menjadi fondasi dasar untuk mewujudkan keadilan sosial dalam pemenuhan hak gizi.
Peran aktif pemerintah daerah menjadi sangat sentral dalam pelaksanaan program ini. Mereka adalah pihak yang paling memahami kondisi geografis, sosial, dan demografis wilayah masing-masing. Karena itu, keterlibatan aktif dan responsif dari para kepala daerah menjadi syarat mutlak agar program ini bisa berjalan optimal. Selain itu, sinergi antar-instansi, mulai dari dinas pertanahan, perencanaan pembangunan daerah, hingga dinas kesehatan dan pendidikan, perlu diperkuat.
Tantangan yang mungkin muncul seperti sengketa lahan, status tanah yang belum bersertifikat, atau lokasi yang kurang strategis, harus diantisipasi sejak awal. Dalam hal ini, peran Kemendagri, Kementerian ATR/BPN, dan BGN menjadi krusial dalam memberikan asistensi teknis dan kebijakan yang mendukung kelancaran penyediaan lahan.
Selain itu, pendekatan multisektor juga perlu dikedepankan. Lahan yang disediakan untuk SPPG bisa diintegrasikan dengan program pertanian lokal, pemberdayaan masyarakat, dan program penanggulangan stunting. Dengan begitu, keberadaan SPPG tidak hanya berfungsi sebagai dapur layanan gizi, tetapi juga sebagai simpul pemberdayaan ekonomi lokal.
Dalam perspektif kebijakan publik, penyediaan lahan untuk MBG adalah langkah preventif dan promotif yang sangat strategis. Ini adalah investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Setiap rupiah yang dibelanjakan untuk memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang cukup, adalah upaya menyelamatkan masa depan bangsa.
Pemerintah telah menyalakan obor semangat dalam menghadirkan keadilan gizi bagi seluruh anak bangsa melalui program MBG. Namun, cahaya dari obor itu hanya akan menjangkau lebih luas jika seluruh elemen bangsa turut serta menyalakan lentera-lentera kecil di sekitarnya.
Sudah saatnya semua pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, akademisi, hingga masyarakat bergandengan tangan dalam memastikan ketersediaan lahan yang layak dan strategis bagi berdirinya SPPG di seluruh penjuru Indonesia. Mari kita dukung bersama program MBG dengan langkah nyata, karena masa depan Indonesia yang sehat dimulai dari piring makan anak-anak kita hari ini.
)* Penulis merupakan Pengamat kebijakan publik