Oleh : Rivka Mayangsari*)
Pemerintah kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kesejahteraan aparatur sipil negara, khususnya para dosen di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Mulai pekan ini, tunjangan kinerja (tunkin) resmi dicairkan dan langsung masuk ke rekening para dosen yang berhak menerimanya. Pencairan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan kesejahteraan tenaga pendidik di Indonesia.
Tunkin dosen merupakan bentuk penghargaan atas dedikasi dan kontribusi mereka dalam mengemban tridarma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan tambahan penghasilan ini, para dosen kini memiliki ruang yang lebih luas untuk meningkatkan kualitas kerja dan memenuhi kebutuhan pribadi yang sempat tertunda akibat keterbatasan pemasukan.
Salah satu penerima tunkin, Wira, seorang dosen PNS bergelar doktor yang telah mengabdi selama 15 tahun, mengungkapkan rasa syukurnya. Ia menerima tunkin sebesar Rp 8.757.600 per bulan, dengan pencairan awal sebesar lebih dari Rp 30 juta untuk periode Januari hingga Juni 2025. Skema tunkin ini terdiri dari 60 persen penilaian kinerja dasar dan 40 persen prestasi dosen.
Tunkin diberikan berdasarkan kelas jabatan, dengan ketentuan bahwa nominalnya dikurangi tunjangan sertifikasi dosen (serdos) sebesar satu kali gaji. Untuk dosen asisten ahli (kelas jabatan 9), tunkin sebesar Rp 5.079.200; lektor (kelas jabatan 11) Rp 8.757.600; lektor kepala (kelas jabatan 13) Rp 10.936.000; dan profesor (kelas jabatan 15) mencapai Rp 19.280.000 per bulan. Total kebutuhan anggaran untuk pembayaran tunkin ini mencapai Rp 2,66 triliun.
Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek, Togar Mangihut Simatupang, memastikan bahwa pencairan tunkin telah berjalan sesuai jadwal. Penilaian kinerja dosen yang dilakukan melalui Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi (Sister) sudah selesai, meskipun masih terdapat beberapa kendala teknis pada sebagian dosen yang belum bisa dinilai akibat data yang belum lengkap.
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2025, pemberian tunkin ini diperuntukkan bagi 31.066 dosen yang tersebar di 49 perguruan tinggi negeri (PTN) satuan kerja, 29 PTN berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang belum memberikan remunerasi, serta dosen-dosen di lembaga pendidikan tinggi lainnya.
Apresiasi terhadap pencairan tunkin ini datang dari berbagai pihak, termasuk Koordinator Aksi Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI), Anggun Gunawan. Menurutnya, pencairan ini merupakan hasil nyata dari perjuangan panjang organisasi dosen dalam memperjuangkan hak-hak kesejahteraan. Ia menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Kemendiktisaintek dan seluruh pemangku kepentingan yang telah bekerja keras dalam merealisasikan program strategis ini.
Namun, Anggun juga menggarisbawahi sejumlah tantangan yang mewarnai proses ini sejak awal. Penandatanganan Perpres oleh Presiden Prabowo Subianto pada Maret 2025 menandai dimulainya proses panjang, termasuk dinamika dan perdebatan publik mengenai kriteria prestasi serta implementasi teknis di lapangan. Beberapa ketentuan awal dalam Keputusan Sekjen sempat dinilai terlalu berat dan tidak realistis, namun usulan revisi dari ADAKSI akhirnya diakomodasi, memberikan angin segar bagi para dosen.
Permasalahan lain yang turut mencuat adalah kendala teknis dalam pengisian data layanan tunkin melalui sistem Sister, yang belum sepenuhnya siap. Tim Teknologi Informasi Kemendiktisaintek berpacu dengan waktu untuk menyempurnakan sistem, sementara para dosen harus menyesuaikan diri dengan proses administratif yang rumit.
Tidak hanya itu, kesenjangan pemahaman antara kebijakan pusat dan implementasi di tingkat kampus juga menjadi tantangan tersendiri. Beragam interpretasi dari pimpinan PTN, LLDikti, asesor, dan verifikator menimbulkan kebingungan dalam proses pengajuan dan penilaian tunkin.
ADAKSI juga masih menerima banyak laporan dari dosen yang belum berhasil mengakses haknya, termasuk dosen di PTN, dosen tugas belajar, dosen CPNS, hingga dosen PPPK. Kondisi ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah pemerintah belum sepenuhnya selesai, dan masih ada kebutuhan untuk memperbaiki sistem agar lebih inklusif dan responsif terhadap realitas di lapangan.
Lebih jauh, Anggun Gunawan menyatakan bahwa perjuangan ADAKSI tidak berhenti sampai di sini. Organisasi ini akan terus mendorong revisi terhadap tunjangan fungsional dosen yang tak kunjung mengalami perubahan sejak 2007. Tujuannya adalah agar dosen di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pun bisa menikmati tambahan penghasilan di luar serdos, demi terwujudnya keadilan dan peningkatan mutu pendidikan tinggi nasional.
Pencairan tunkin pada Juli 2025 menjadi bukti nyata bahwa pemerintah hadir untuk mendengar, merespon, dan memenuhi kebutuhan para pendidik bangsa. Ini bukan hanya soal kesejahteraan individu, melainkan investasi jangka panjang dalam meningkatkan kualitas pendidikan tinggi Indonesia. Pemerintah pun diharapkan terus melanjutkan langkah progresif ini agar seluruh dosen di Indonesia, tanpa terkecuali, dapat merasakan manfaat dari kebijakan yang adil dan berorientasi pada masa depan.
Ke depan, pemerintah juga berkomitmen untuk memperluas cakupan tunjangan kinerja ini secara bertahap agar mencakup seluruh dosen, termasuk di perguruan tinggi swasta dan lembaga pendidikan tinggi lainnya. Evaluasi berkelanjutan akan dilakukan terhadap sistem penilaian, transparansi pengajuan, serta kecepatan pencairan agar lebih efisien dan ramah pengguna. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada tenaga pendidik yang merasa tertinggal atau terabaikan. Dengan sistem yang semakin matang dan dukungan politik yang kuat, kesejahteraan dosen Indonesia akan semakin meningkat, seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing bangsa di tingkat global.
*) Pemerhati pendidikan