Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi di sejumlah stasiun pengisian swasta belakangan ini menjadi perhatian serius pemerintah. Publik tentu berharap akses terhadap energi vital seperti BBM tidak terganggu, terlebih di wilayah perkotaan dengan mobilitas tinggi. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan pentingnya kolaborasi erat antara SPBU swasta dan PT Pertamina (Persero) sebagai langkah nyata mengatasi permasalahan pasokan sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menekankan bahwa pemerintah sudah memberi ruang lebih besar bagi badan usaha swasta untuk melakukan impor BBM. Pada 2025, kuota impor ditingkatkan hingga 110 persen dibanding tahun sebelumnya. Artinya, peluang pemenuhan kebutuhan energi bagi SPBU swasta sebenarnya tersedia dengan porsi lebih luas. Namun, jika terjadi kekosongan pasokan di lapangan, maka solusi terbaik tetap melalui kerja sama dengan Pertamina sebagai representasi negara dalam menjamin keberlangsungan distribusi energi.
Menurut Bahlil Lahadalia, negara tidak bisa menyerahkan sepenuhnya cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar. Energi adalah sektor strategis yang harus tetap dalam kendali negara agar stabilitas harga dan ketersediaan pasokan dapat terjaga. Dengan demikian, kolaborasi antara SPBU swasta dan Pertamina bukanlah bentuk pembatasan, melainkan langkah proteksi yang sejalan dengan amanat konstitusi untuk menjaga kepentingan masyarakat luas.
Sementara itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Laode Sulaeman mengungkapkan bahwa hingga kini belum ada permintaan resmi dari SPBU swasta untuk berkolaborasi dengan Pertamina. Ia menyebutkan, sejumlah perusahaan masih melakukan analisis internal terkait mekanisme dan strategi logistik. Namun, ia menegaskan tidak akan ada tambahan biaya dalam skema pembelian BBM melalui Pertamina karena pemerintah sudah menutup ruang kemungkinan terjadinya beban tambahan yang memberatkan konsumen maupun pelaku usaha.
Pernyataan tersebut mempertegas komitmen pemerintah bahwa kebijakan impor satu pintu melalui Pertamina bertujuan untuk konsolidasi. Konsolidasi ini memastikan volume pasokan, kualitas, dan aspek pembiayaan berada dalam kontrol nasional, sehingga potensi inefisiensi dan disparitas harga bisa diminimalkan. Dengan demikian, kepentingan publik tetap menjadi prioritas utama.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menambahkan bahwa regulasi sudah tegas mengatur mekanisme impor BBM melalui Pertamina sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Dengan kerangka hukum yang jelas, kolaborasi antara swasta dan Pertamina menjadi bentuk penguatan sistem yang lebih terintegrasi.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, menilai bahwa kebijakan ini tidak dapat dianggap diskriminatif atau monopoli. Menurutnya, skema satu pintu melalui Pertamina justru menghadirkan konsolidasi yang dibutuhkan untuk memastikan keterjaminan energi di tingkat nasional. Ia menegaskan, pelajaran penting dari kelangkaan di SPBU swasta adalah lemahnya perencanaan logistik, bukan keterbatasan kuota impor. Oleh karena itu, langkah kolaborasi dipandang sebagai jalan tengah yang saling menguntungkan bagi semua pihak.
Dari sisi operator, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Roberth Marchelino Verieza menyatakan kesiapan penuh mendukung kebijakan pemerintah. Pertamina, ujarnya, berkomitmen untuk menjaga suplai sekaligus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dengan infrastruktur dan pengalaman distribusi yang dimiliki, Pertamina diyakini mampu menjadi mitra strategis bagi SPBU swasta dalam menutup celah kelangkaan.
Kondisi di lapangan memang menunjukkan sejumlah SPBU swasta mengalami kekosongan stok, khususnya di wilayah Jabodetabek. Namun, pemerintah optimistis persoalan ini dapat segera teratasi. Dengan jalur kolaborasi yang dibuka bersama Pertamina, ketersediaan energi diharapkan kembali stabil dan publik terhindar dari kepanikan. Langkah ini sekaligus memperlihatkan bahwa pemerintah responsif terhadap dinamika di sektor energi, tanpa membiarkan masalah berlarut-larut.
Lebih jauh, kebijakan kolaborasi ini juga menyimpan dimensi strategis. Pertama, menjamin kepastian distribusi BBM agar mobilitas masyarakat dan aktivitas industri tidak terganggu. Kedua, menjaga kestabilan harga di tengah fluktuasi pasar global yang kerap memengaruhi biaya impor. Ketiga, memperkuat posisi negara dalam mengatur cabang produksi vital agar tetap sesuai dengan prinsip kedaulatan energi nasional.
Dari perspektif publik, kepastian ketersediaan BBM menjadi jaminan atas hak dasar untuk mendapatkan akses energi yang memadai. Sedangkan bagi swasta, kerja sama dengan Pertamina membuka peluang efisiensi operasional sekaligus menjaga kepercayaan konsumen. Sinergi ini tidak hanya menyelesaikan persoalan jangka pendek berupa kelangkaan pasokan, tetapi juga membangun fondasi yang lebih kokoh bagi keberlanjutan sektor energi nasional.
Pada akhirnya, kolaborasi yang diinisiasi pemerintah ini mencerminkan paradigma baru pengelolaan energi: bukan sekadar kompetisi, melainkan integrasi. Pemerintah hadir sebagai regulator sekaligus fasilitator, Pertamina berperan sebagai tulang punggung distribusi, dan SPBU swasta menjadi mitra yang memperluas akses layanan. Semua pihak bersinergi demi tujuan bersama, yaitu memastikan energi tetap tersedia, terjangkau, dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
)* Penulis merupakan pengamat ekonomi