JAKARTA — Pemerintah Indonesia bergerak cepat dalam mengantisipasi dampak kebijakan tarif impor 32 persen yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Tony Prianto, menyebut dinamika tarif tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku usaha.
Hal tersebut karena perdagangan Indonesia masih bertumpu pada negara tujuan konvensional seperti Amerika Serikat.
Tony menegaskan bahwa pemerintah melalui Program Penugasan Khusus Ekspor (PKE) tengah memperluas pasar ekspor ke kawasan non-tradisional, antara lain Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur, dan Asia Selatan.
“Terkait tarif Trump, ekspor kita ke Amerika pasti terdampak, tetapi memang mitigasinya adalah salah satu yang kita shifting untuk membuat yang negara-negara tujuan ekspor yang non tradisional,” ujar Tony dalam Media Briefing di Labuan Bajo, Kamis (10/7).
Program PKE memanfaatkan skema National Interest Account (NIA) yang memungkinkan pemerintah memberikan pembiayaan dan proteksi asuransi kepada eksportir.
Tony menjelaskan bahwa skema NIA mendukung ekspor yang secara komersial layak namun belum dianggap layak oleh perbankan.
Melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), pemerintah memastikan ekspor ke negara non-tradisional dapat berjalan lebih aman meskipun terdapat risiko keamanan, logistik, dan infrastruktur.
“Ekspor ke pasar konvensional relatif nyaman karena infrastruktur, asuransi, dan shippingnya sudah in place,” ungkapnya.
“Namun, kalau ke negara-negara seperti Fiji, mungkin Zimbabwe pelaku ekspor sering menghadapi tantangan besar. PKE memberikan jaminan dan pembiayaan,” jelasnya.
Pelaksana Tugas Direktur Pelaksana Pengembangan Bisnis LPEI, Maqin U Norhadi, menambahkan bahwa PKE Kawasan telah diarahkan ke Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
“Ini adalah langkah antisipatif yang sudah berjalan bahkan sebelum ada kebijakan tarif dari Presiden Trump,” kata Maqin.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan Indonesia tetap berada di BRICS meskipun terimbas tarif tambahan.
“Kalau kita bergabung dengan BRICS yang kemudian itu ada konsekuensi ya mau tidak mau harus kita hadapi,” ujar Prasetyo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/7).
Prasetyo menyatakan pemerintah terus melanjutkan negosiasi hingga tenggat waktu pada 1 Agustus mendatang.
“Di situ kan dibuka beberapa ruang juga,” katanya.
“Kalau kaitannya dengan rencana pengenaan kembali tarif 10 persen bagi anggota BRICS, kami merasa ya itu bagian dari keputusan,” ujar Prasetyo. ()
[edRW]