Literasi Digital Jadi Tembok Pertahanan Hadapi Judi Daring

Oleh : Asto Priambodo )*

Praktik judi  daring atau yang juga dikenal sebagai judi online di Indonesia kian mengkhawatirkan. Modus operasinya semakin canggih, jaringannya semakin masif, dan daya rusaknya terhadap masyarakat sangat signifikan. Di tengah kemajuan teknologi digital, para pelaku memanfaatkan celah-celah sistem untuk menyamarkan aktivitas ilegal ini. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun kembali angkat suara dan memperingatkan publik mengenai bahaya besar yang tersembunyi di balik fenomena ini.

Sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengawasi perilaku pelaku usaha jasa keuangan sekaligus melindungi konsumen, OJK berada di garis depan dalam perang melawan judi online. Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menegaskan bahwa salah satu faktor utama yang membuat masyarakat rentan terhadap jerat judi online adalah minimnya kesadaran terhadap modus-modus baru yang digunakan oleh pelaku. Meskipun penindakan terus dilakukan, jumlah korban tidak kunjung menurun karena pelaku senantiasa memperbarui cara operasinya agar tidak mudah dideteksi.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pelaku kini menyamarkan situs-situs judi seolah-olah sebagai platform edukatif, termasuk dalam bentuk situs dongeng anak-anak. Strategi ini sengaja dirancang untuk mengelabui pengguna internet dari kelompok usia muda dan orang tua yang tidak familiar dengan dunia digital. Melalui pendekatan yang tidak mencurigakan, pelaku berhasil menurunkan kewaspadaan dan menjerat korban secara halus.

Tak hanya itu, metode transaksi juga terus disiasati. Para pelaku memanfaatkan layanan deposit pulsa untuk menyembunyikan aktivitas keuangan dari sistem perbankan formal. Penggunaan rekening dormant (tidak aktif) dan keterlibatan jasa penukaran uang (money changer) juga turut memperumit pelacakan arus dana yang terkait dengan aktivitas judi. Menurut Friderica, hal-hal seperti ini telah ditemukan sebagai pola baru yang menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapi oleh lembaga pengawas keuangan.

Bahkan, kejahatan ini telah menjelma dalam bentuk yang lebih kompleks, seperti skema ekspor-impor fiktif untuk mencuci uang hasil judi. Melalui mekanisme perdagangan yang terlihat sah secara administratif, pelaku berhasil menyusupkan dana ilegal ke dalam sistem keuangan nasional. Ini bukan hanya persoalan pelanggaran hukum, tetapi juga berisiko besar terhadap stabilitas sistem keuangan dan ketahanan ekonomi nasional.

Melihat kompleksitas tantangan tersebut, OJK tidak tinggal diam. Salah satu langkah konkret yang telah dilakukan adalah pemblokiran sekitar 14 ribu rekening yang diduga terlibat dalam aktivitas judi online. Tindakan ini bertujuan memutus aliran dana yang menghidupi ekosistem judi daring, sekaligus mempersempit ruang gerak pelaku di sistem keuangan formal. Di sisi lain, OJK juga memperkuat pengawasan terhadap transaksi mencurigakan melalui sinergi dengan berbagai lembaga, seperti Komite Digital Keuangan Nasional (Komdigi), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan mitra strategis lainnya.

Namun, pendekatan represif saja tidak cukup. OJK menyadari bahwa pencegahan harus dimulai dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, peningkatan literasi digital menjadi agenda penting yang terus didorong. Masyarakat perlu dibekali pengetahuan yang memadai agar tidak mudah tergoda dengan berbagai bentuk penawaran yang menjanjikan keuntungan instan tanpa risiko. Edukasi publik menjadi benteng utama untuk membangun kesadaran kolektif tentang dampak negatif dari praktik judi online, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun psikologis.

Dalam konteks ini, kampanye literasi digital yang dilakukan OJK telah menjangkau berbagai saluran, mulai dari media sosial, institusi pendidikan, hingga komunitas-komunitas lokal. Tujuannya bukan hanya menyebarkan informasi, tetapi juga membentuk sikap kritis dan kewaspadaan masyarakat terhadap konten digital yang manipulatif. Menurut Friderica, OJK terus mendorong edukasi publik agar warga memiliki ketahanan terhadap bujuk rayu perjudian online, sekaligus menjadi pribadi yang cerdas dalam mengelola keuangan.

Apa yang dilakukan OJK menunjukkan bahwa perang terhadap judi online tidak bisa dilakukan secara parsial. Butuh kerja sama lintas sektor—antara regulator, lembaga penegak hukum, penyedia layanan keuangan, hingga masyarakat sipil. Penanganan yang bersifat menyeluruh, dari hulu hingga hilir, menjadi kunci untuk memutus rantai kejahatan ini.

Lebih dari itu, perlu ada reformasi kebijakan yang lebih progresif, termasuk dalam aspek regulasi digital, perlindungan konsumen, serta penguatan sistem deteksi dan pelaporan transaksi mencurigakan. Pemerintah juga harus memperkuat kerja sama internasional mengingat banyak platform judi beroperasi lintas negara.

Secara moral, judi online adalah bentuk eksploitasi terhadap harapan palsu. Pelaku merancang sistem yang membuat pengguna merasa bisa mendapatkan keuntungan besar dengan cepat, padahal kenyataannya justru merugikan secara ekonomi dan merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, memberantas judi online bukan semata-mata upaya penegakan hukum, tetapi juga bagian dari perlindungan moral dan martabat bangsa.

Dengan kombinasi strategi penindakan, pengawasan ketat, dan pemberdayaan masyarakat melalui edukasi digital, OJK telah mengambil langkah penting dalam melawan ancaman ini. Namun, perjuangan belum selesai. Semua pihak, termasuk media, pendidik, tokoh agama, dan pemuda, harus turut ambil bagian dalam membangun kesadaran kolektif dan menciptakan ruang digital yang sehat, aman, dan bermanfaat.

) *Penulis adalah kontributor Kontributor Jaringan Muda Indonesia Maju

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *