Kekejaman OPM Terhadap Perempuan Papua Tak Bisa Ditoleransi

Oleh: Maria Degei *)

Kekerasan yang terus dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah melampaui batas kewajaran, bahkan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan yang awalnya mereka klaim sebagai bagian dari perjuangan, kini menjelma menjadi rangkaian kebrutalan yang menyasar siapa saja, termasuk perempuan dan warga sipil tak berdosa. Realitas ini bukan lagi sekadar konflik bersenjata, melainkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus segera dihentikan. Sudah saatnya masyarakat bersatu suara bahwa OPM bukanlah representasi rakyat Papua, melainkan musuh bersama yang telah merusak sendi-sendi kehidupan di tanah yang indah ini.

Baru-baru ini, publik kembali dikejutkan oleh laporan penyiksaan terhadap seorang perempuan di Distrik Bibida, Kabupaten Paniai. Perempuan tersebut secara tidak berdasar dituduh membantu aparat keamanan, lalu diseret dan dianiaya secara brutal oleh sekelompok anggota OPM. Kekejaman ini berlangsung di hadapan warga, yang bahkan tidak mampu memberikan pertolongan karena diancam oleh kelompok yang mengklaim memperjuangkan kemerdekaan. Namun kenyataannya, kekerasan demi kekerasan yang mereka lakukan justru menghancurkan rakyat yang katanya ingin mereka lindungi. Tindakan ini tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun.

Tokoh Masyarakat Papua, Daud Mote, menyatakan dengan tegas bahwa tindakan terhadap perempuan Papua adalah pelanggaran terhadap martabat dan budaya. Dalam kearifan lokal Papua, perempuan adalah fondasi keluarga dan sumber kehidupan. Ketika perempuan menjadi korban penyiksaan, artinya tatanan moral telah runtuh. Ini bukan hanya soal satu insiden, sebab kejadian serupa terus berulang di wilayah seperti Intan Jaya dan Nduga. Pola kekerasan yang sama terus dilestarikan oleh kelompok ini, membuktikan bahwa OPM bukan lagi pejuang, tetapi predator bersenjata yang menebar teror kepada rakyat sendiri.

Lebih menyakitkan lagi, kekerasan yang dilakukan OPM kerap diliputi kabut disinformasi. Kasus kematian Mama Hertina Mirip beberapa hari lalu di Intan Jaya menjadi bukti betapa keji dan manipulatifnya kelompok ini. Tuduhan bahwa aparat TNI telah membakar hidup-hidup perempuan lanjut usia tersebut terbukti hoaks. Klarifikasi dari masyarakat dan pihak berwenang menunjukkan bahwa Mama Hertina justru menjadi korban penembakan oleh kelompok separatis yang menuduhnya sebagai mata-mata. Fakta ini dibenarkan oleh kesaksian warga dan tokoh adat setempat, yang juga mengungkap bahwa nama pelapor, Antonia Hilaria Wandagau, tidak dikenal di wilayah tersebut. Narasi fitnah yang disebarkan oleh simpatisan OPM hanyalah upaya busuk untuk menciptakan kebencian terhadap pemerintah dan aparat keamanan.

Kebohongan semacam itu tidak bisa dibiarkan terus menyebar, karena dampaknya bukan hanya pada persepsi publik, tetapi juga pada keselamatan warga sipil. TNI sendiri telah menegaskan tidak pernah terlibat dalam insiden tersebut, dan kehadirannya di Papua adalah berdasarkan permintaan resmi dari otoritas sipil dan tokoh masyarakat, bukan atas dasar represif. Bahkan dalam kasus Mama Hertina, aparat sudah ditarik dari lokasi sebelum peristiwa terjadi. Artinya, tuduhan itu hanyalah strategi OPM untuk memecah belah dan menimbulkan kegaduhan nasional demi kepentingan sempit.

Di sisi lain, suara para pemuka agama dan aktivis perempuan Papua menunjukkan bahwa penolakan terhadap OPM juga datang dari dalam. Pendeta Yohana Wenda mengingatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap adat dan agama. Dalam adat Papua, perempuan dihormati sebagai simbol kehidupan. Maka ketika perempuan justru menjadi korban, sangat jelas bahwa OPM telah berkhianat pada nilai-nilai luhur yang mereka klaim perjuangkan.

Aktivis Melani Tabuni bahkan menyatakan dengan terang bahwa OPM kini lebih pantas disebut kelompok kriminal bersenjata. Ucapan itu lahir dari rasa kepedihan dan keprihatinan terhadap nasib perempuan Papua yang kini hidup dalam ketakutan, tidak berani pergi ke kebun atau membawa anak-anak ke sekolah. Trauma berkepanjangan telah menggantikan harapan akan masa depan yang damai.

Menghadapi situasi ini, peran pemerintah menjadi sangat penting dan sudah terbukti tidak tinggal diam. Pengawasan di daerah rawan diperketat, dan upaya menciptakan zona aman bagi perempuan dan anak terus dilakukan. Pemerintah juga mendorong keterlibatan lembaga sosial dan keagamaan dalam proses pemulihan trauma.

Langkah-langkah ini adalah bentuk nyata bahwa negara hadir untuk melindungi seluruh warga, termasuk mereka yang berada di wilayah paling terpencil dan terdampak konflik. Ketegasan pemerintah dalam membedakan antara perjuangan aspiratif yang sah dan kekerasan bersenjata yang destruktif patut diapresiasi. Kita tidak bisa membiarkan kekerasan dibungkus dalam jargon kemerdekaan, sementara rakyat sipil terus menjadi korban.

Karena itu, publik perlu diberikan kesadaran kolektif untuk tidak terjebak dalam narasi manipulatif yang dibuat oleh OPM dan simpatisannya. Kita harus bersatu mengecam, menolak, dan melawan segala bentuk kekejaman yang dilakukan atas nama perjuangan. Rakyat Papua membutuhkan kedamaian, bukan senjata; membutuhkan pembangunan, bukan intimidasi; dan membutuhkan harapan, bukan teror. Sudah waktunya OPM tidak hanya dilihat sebagai ancaman keamanan, tetapi juga sebagai musuh kemanusiaan yang harus dihadapi dengan ketegasan dan keberanian bersama.

Dengan segala fakta dan kesaksian yang ada, maka tidak ada lagi alasan untuk membela atau memberikan toleransi terhadap tindakan kelompok bersenjata ini. Kekerasan terhadap perempuan, penyebaran hoaks, dan teror terhadap masyarakat sipil adalah bukti nyata bahwa OPM telah kehilangan legitimasi apa pun di mata masyarakat. Mari bersatu mendukung langkah pemerintah dan aparat keamanan dalam menjaga ketertiban dan hak hidup masyarakat Papua. Setiap nyawa yang tak bersalah adalah alasan cukup untuk mengecam OPM, dan menjadikannya sebagai musuh bersama seluruh bangsa.

*) Pengiat Literasi / Aktivis Perempuan & Kemanusiaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *