Oleh : Loa Murib
Tragedi kemanusiaan kembali terjadi di Tanah Papua. Serangan brutal yang menewaskan seorang guru bernama Melani Wamea di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, menjadi bukti nyata bahwa kekejaman Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah melampaui batas kemanusiaan. Kejadian tragis ini bukan hanya mengguncang dunia pendidikan, tetapi juga menorehkan luka mendalam bagi seluruh bangsa Indonesia yang terus berjuang membangun kedamaian dan kemajuan di Bumi Cenderawasih.
Melani Wamea, seorang tenaga pendidik yang mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak-anak Papua di pedalaman, menjadi korban keganasan OPM ketika tengah mendampingi murid-muridnya dalam kegiatan belajar di luar kelas. Serangan keji yang dilakukan secara tiba-tiba di Distrik Holuwon ini menewaskan sang guru di depan para siswa, meninggalkan trauma mendalam bagi mereka yang menjadi saksi bisu kekerasan tidak berperikemanusiaan tersebut. Tindakan ini jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius karena menargetkan warga sipil yang tidak bersenjata, terutama seorang guru yang berjuang untuk masa depan generasi muda Papua.
Kapolres Yahukimo AKBP Zet Saalino menyampaikan bahwa peristiwa ini adalah tindakan biadab yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. Pihaknya telah menurunkan tim untuk melakukan penyelidikan dan memburu pelaku yang diduga merupakan anggota OPM. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa OPM tidak hanya menyerang aparat keamanan, tetapi juga menjadikan tenaga pendidik dan masyarakat sipil sebagai sasaran kekerasan. Tindakan seperti ini bukan lagi bentuk perjuangan politik, melainkan kejahatan kemanusiaan yang menodai nilai-nilai kemanusiaan universal.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Cahyo Sukarnito menegaskan bahwa aparat keamanan akan bertindak tegas terhadap para pelaku. Ia juga menyampaikan duka cita mendalam atas gugurnya korban, sekaligus menyerukan agar tenaga pendidik di wilayah rawan selalu berkoordinasi dengan aparat dalam menjalankan tugasnya. Serangan terhadap guru di Yahukimo bukan hanya menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat, tetapi juga menghambat upaya pemerintah dalam pemerataan pendidikan di daerah pedalaman Papua.
Tindakan kekerasan terhadap guru seperti ini bukan kali pertama terjadi di Papua. Dalam beberapa tahun terakhir, OPM kerap melancarkan serangan terhadap tenaga pendidik, tenaga kesehatan, bahkan pekerja proyek infrastruktur. Pola kekerasan yang sama terus berulang, memperlihatkan bahwa kelompok tersebut menggunakan teror dan ancaman sebagai alat untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat. Padahal, korban-korban tersebut adalah warga sipil yang tidak memiliki keterlibatan politik maupun militer, melainkan hadir untuk membantu pembangunan dan kemajuan Papua.
Kejadian di Yahukimo seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk menegaskan kembali bahwa kekerasan tidak bisa menjadi jalan menuju keadilan. OPM yang selama ini mengklaim berjuang atas nama rakyat Papua justru telah menindas rakyatnya sendiri. Guru seperti Melani Wamea adalah sosok yang rela meninggalkan kenyamanan hidup di kota demi mengabdi di pedalaman. Dengan dedikasinya, ia berperan penting dalam membangun sumber daya manusia Papua yang cerdas dan mandiri. Ketika sosok seperti ini justru menjadi korban kekerasan, maka tidak ada lagi pembenaran moral maupun politik yang bisa digunakan untuk mendukung tindakan OPM.
Pemerintah bersama aparat keamanan kini dihadapkan pada tantangan besar untuk memastikan perlindungan terhadap masyarakat sipil di wilayah konflik. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan terukur agar pelaku kekerasan mendapat hukuman setimpal. Selain itu, negara perlu memperkuat pendekatan humanis dan pembangunan berkelanjutan agar masyarakat Papua tidak lagi terjerat dalam lingkaran ketakutan yang diciptakan oleh kelompok separatis.
Serangan OPM di Yahukimo juga menunjukkan bahwa perjuangan melawan kekerasan di Papua bukan hanya tanggung jawab aparat, tetapi juga seluruh elemen bangsa. Media, tokoh agama, pemuda, dan masyarakat adat memiliki peran penting dalam menolak narasi kebencian yang sering digunakan kelompok separatis untuk memecah belah. Solidaritas nasional harus terus dijaga agar rakyat Papua merasa dilindungi dan dihargai sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sisi hak asasi manusia, tindakan OPM ini jelas melanggar prinsip dasar kemanusiaan. Menyerang guru di depan murid adalah bentuk kekerasan yang tidak hanya melukai fisik, tetapi juga menghancurkan psikologis anak-anak. Dunia internasional pun seharusnya melihat bahwa pelanggaran HAM di Papua tidak hanya dilakukan oleh aparat, seperti yang sering dipropagandakan oleh kelompok separatis, tetapi justru oleh OPM itu sendiri yang menebar teror dan penderitaan bagi masyarakat.
Kekejaman di Yahukimo memperlihatkan dengan gamblang siapa sebenarnya pihak yang menjadi sumber penderitaan rakyat Papua. Mereka yang mengatasnamakan perjuangan kemerdekaan telah kehilangan arah moral dan kemanusiaan. Tragedi ini harus menjadi peringatan keras bahwa keamanan dan stabilitas di Papua tidak akan tercapai tanpa penegakan hukum yang konsisten dan keberanian negara untuk menindak setiap pelaku kekerasan.
Melani Wamea telah gugur sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang sejati. Pengabdiannya harus menjadi inspirasi bagi semua pihak untuk terus berjuang menghadirkan kedamaian dan keadilan di Tanah Papua. Negara tidak boleh kalah oleh teror, dan masyarakat tidak boleh tunduk pada ketakutan. Saatnya seluruh elemen bangsa bersatu menegakkan nilai kemanusiaan, melindungi para pengabdi di tanah perbatasan, dan memastikan bahwa kekejaman serupa tidak pernah terulang lagi di Bumi Cenderawasih
*Penulis adalah Mahasiswa Papua di Jawa Timur