Oleh : Umar Adisusanto )*
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan bagaimana langkah yang cepat dan juga strategis dalam rangka untuk menghadapi adanya tekanan kebijakan tarif impor sebesar 32 persen dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Kebijakan tersebut tentunya telah berpotensi untuk menimbulkan berbagai macam risiko besar bagi perdagangan nasional, mengingat AS sendiri masih menjadi salah satu dari mitra dagang utama Indonesia. Namun, diversifikasi pasar ekspor yang digulirkan pemerintah di bawa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto terbukti menjadi sebuah langkah mitigasi yang sangat tepat.
Pendekatan ini berjalan seiring dengan diberlakukannya strategi diversifikasi ekonomi nasional, terutama mengincar akses ke pasar OECD dan CPTPP, sekaligus memperkuat kemitraan strategis dengan AS maupun negara lain.
Mengenai hal tersebut, Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Tony Prianto, menilai bahwa bagaimana langkah diversifikasi ekspor yang diberlakukan oleh pemerintah menjadi mitigasi yang paling relevan untuk saat ini.
Tony menegaskan bahwa pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo langsung dapat mengoptimalkan keberlakuan program Penugasan Khusus Ekspor (PKE) guna semakin memperluas pasar ke kawasan non-tradisional seperti Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur, dan Asia Selatan. Strategi tersebut bertujuan mengurangi ketergantungan pada pasar konvensional agar keberlanjutan ekspor Indonesia tetap terjaga meskipun tekanan tarif AS kian meningkat.
Program PKE menggunakan skema National Interest Account (NIA) yang memungkinkan pemerintah untuk memberikan dukungan dalam pembiayaan dan juga pada proteksi asuransi kepada para eksportir. Tony menjelaskan bahwa skema tersebut jelas sangat mendukung kegiatan ekspor yang sebenarnya sudah layak secara komersial, namun belum dianggap layak oleh pihak perbankan.
Melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), pemerintah bukan hanya sekadar menyediakan pembiayaan semata, namun juga sekaligus adanya proteksi asuransi untuk memastikan seluruh kegiatan ekspor ke negara non-tradisional dapat berjalan dengan aman meskipun infrastruktur negara tujuan masih belum memadai.
Menurut Tony, ekspor ke pasar konvensional relatif dalam kondisi yang aman karena sistem logistik, shipping, dan asuransinya sudah terbangun dengan baik, sementara itu untuk ekspor ke negara seperti Fiji atau Zimbabwe masih memerlukan jaminan risiko yang lebih besar.
Tony menegaskan bahwa perluasan pasar ekspor akan semakin meningkatkan daya saing pada produk Indonesia di pasar global serta dapat mengurangi adanya risiko akibat ketergantungan pada satu atau dua pasar besar saja.
Diversifikasi tersebut juga semakin memastikan bahwa perekonomian nasional tetap dalam keadaan yang tangguh meski di tengah terjadinya beragam tekanan kebijakan proteksionisme AS.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Pelaksana Pengembangan Bisnis LPEI, Maqin U Norhadi, menambahkan bahwa PKE memang sejatinya dirancang bahkan sejak awal untuk mampu mendukung berlangsungnya kegiatan ekspor ke pasar alternatif.
Maqin menilai bahwa kebijakan tersebut sudah sangat tepat sebagai sebuah langkah antisipatif bahkan sejak jauh sebelum kebijakan tarif Presiden Trump diumumkan ke publik. Fokus pemerintah Indonesia pada kawasan Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan diharapkan dapat meminimalisir dampak tarif tinggi AS terhadap ekspor nasional.
Sejauh ini, LPEI telah menyalurkan dukungan pembiayaan hingga sebesar Rp26 triliun dalam berlangsungnya program PKE hingga bulan Juni 2025 yang telah berhasil menembus hingga lebih dari 90 negara dengan menghasilkan devisa setara Rp66,3 triliun.
Dari program tersebut, lebih dari 29 produk telah diekspor, antara lain pesawat terbang, kereta api, vaksin, alat kesehatan, makanan olahan, furnitur, dan produk kimia. Keberhasilan tersebut jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan upaya diversifikasi pasar tidak hanya sekadar menjadi wacana saja, melainkan justru merupakan sebuah langkah yang sangat nyata dari pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk mengamankan perekonomian nasional.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menegaskan bahwa Indonesia akan tetap menjadi anggota BRICS meskipun AS mengancam dengan tarif tambahan sebesar 10 persen bagi negara yang dianggap berpihak kepada BRICS.
Prasetyo menilai bahwa risiko tarif tersebut merupakan konsekuensi logis dari keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS pada awal 2025. Indonesia bersama negara BRICS lainnya juga mengutuk kenaikan tarif AS yang dinilai mengganggu perdagangan global dan rantai pasok internasional.
Prasetyo menyebut bahwa pemerintah mengirimkan menteri ekonomi ke Washington untuk menegosiasikan persyaratan tarif yang lebih baik. Menurut Prasetyo, Indonesia memandang potensi kenaikan tarif hingga 42 persen sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan strategi komprehensif, salah satunya dengan diversifikasi pasar ekspor. Langkah tersebut akan mengurangi tekanan terhadap sektor manufaktur dan menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri.
Kebijakan tarif AS memang memberikan tekanan signifikan terhadap perdagangan Indonesia, tetapi langkah diversifikasi pasar ekspor yang digulirkan Presiden Prabowo Subianto membuktikan ketepatan visi ekonomi nasional.
Strategi tersebut memastikan Indonesia tidak hanya bertahan, melainkan mampu membuka peluang pasar baru yang akan memperkuat struktur ekonomi nasional dalam jangka panjang. Diversifikasi pasar menjadi bukti nyata bahwa pemerintah hadir dengan solusi strategis untuk menjawab tantangan proteksionisme global dan membawa Indonesia menuju ekonomi yang lebih tangguh dan berdaya saing tinggi di kancah internasional. (*)
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute