Ciputat, Tangerang Selatan, adalah kawasan serba ada dan amat strategis, tapi biaya hidupnya supermahal. Konon, dibutuhkan rata-rata biaya Rp10 juta per bulan untuk hidup nyaman di kota ini. Namun, ada tips bertahan hidup di Ciputat hanya dengan uang Rp2 juta sebulan.
***
Bagi Argi (28), Ciputat adalah kawasan yang tak pernah tidur. 24 jam sibuk dengan lika-liku kehidupan manusia. Sepuluh tahun tinggal di sini, ia nyaris tak pernah melihat kapan kota ini lenggang.
“Ciputat mboten sare!,” ujar lelaki asal Jawa Tengah ini kepada Mojok, Kamis (5/6/2025) malam.
Argi merantau ke Ciputat sejak 2014 lalu untuk kuliah di salah satu kampus negeri. Lulus saat masa pandemi Covid-19, ia memutuskan bertahan di sana karena mendapat tawaran kerja–sampai hari ini.
“Ibaratnya telanjur jatuh cinta sama Ciputat,” ungkapnya.
Ciputat, kota pendidikan “underrated” dan jujugan perantau
Ada alasan konkret mengapa Argi memilih Ciputat, Tangerang Selatan, sebagai tujuannya berkuliah 10 tahun lalu. Selain karena memang diterimanya di sini, bagi dia Ciputat memang menjadi kota pendidikan yang underrated.
“Orang tahunya kota pendidikan itu Jogja, Surabaya, Malang. Tapi bagiku, ya, Ciputat juga kota pendidikan,” kata dia.
Kalau mengacu data resmi dari Kemendikbudristek, terdapat tak kurang dari 17 kampus di kota seluas 21,11 kilometer persegi ini. Ada yang negeri, dan sebagian besar lainnya adalah swasta.
Misalnya, kalau diurutkan dari yang paling terkenal, terdapat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Universitas Pembangunan Jaya (UPJ), Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, serta sejumlah kampus lain di Ciputat.
Tak sampai di situ, Ciputat juga terkenal sebagai jujugan perantau buat mencari kerja. Alasannya, UMR di kota ini memang cukup tinggi, mengikuti upah minimum Tangerang Selatan yang sebesar Rp4,9 juta. Selisih sedikit dari Jakarta.
Maka tak heran, kalau banyak perantau, seperti Argi memilih bekerja di kota ini. Menurut catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Tangerang Selatan, dari tujuh kecamatan di Tangsel, Ciputat menempati peringkat kedua kunjungan perantau terbanyak sejak 2022. Jumlahnya hanya kalah dari Pamulang.
“Makanya aku bilang Ciputat nggak pernah tidur karena setiap jamnya ada saja lika-liku manusia, entah mahasiswa atau para pekerja yang sibuk urusan perut,” ujar Argi.
Tapi, biaya hidupnya amat mahal
Akan tetapi, biaya hidup di Ciputat, Tangerang Selatan, amat mahal. Bahkan ada yang bilang, cuma beda tipis dengan biaya hidup di Jakarta.
Argi sendiri mengakui, saat pertama datang ke sini buat kuliah, dirinya masih mudah menjumpai “rumah makan merakyat”. Tapi kini, susahnya minta ampun.
“Dulu waktu kuliah, dekat-dekat kampus banyak tempat makan yang 7 ribu saja sudah kenyang, dapat ayam. Sekarang, 25 ribu baru dapat, itupun masih yang tergolong harga standard,” kata dia.
Bahkan, di Facebook banyak mahasiswa yang kuliah di Ciputat menuliskan keresahan mereka soal mahalnya harga makan di sekitar kampus. Ada yang mengaku, untuk mendapatkan nasi sayur seharga Rp15 ribu saja, ia kudu masuk-masuk gang sempit, menjauh dari kampus.
Data BPS Tangerang Selatan pada 2020 lalu menyebutkan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Ciputat adalah sebesar Rp2,6 juta sebulan. Besaran ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk makan, hunian, transportasi, hingga fesyen dan hiburan.
Namun, seiring dengan inflasi, angka tersebut naik berkali-kali lipat. Kini, diperkirakan buat hidup nyaman di Ciputat, setidaknya dibutuhkan gaji Rp10 juta per bulan–menukil data BPS 2023.
“Tapi, aku ngerasain betul sih. Sekarang buat ngekos aja, kalau mau yang standard ya dapatnya paling 1,5 sampai 2 jutaan. Di bawah itu jangan harap dapat kos enak,” ujar Argi.
Tips bertahan hidup modal Rp2 juta sebulan di Ciputat, Tangerang Selatan
Sebelumnya, Mojok pernah mewawancarai Dori (27), pekerja di Ciputat yang resah dengan kotanya. Kala itu, Dori menyebut Ciputat memang menjadi kawasan penyangga ibu kota Jakarta yang amat strategis. Namun, tak semua orang cocok tinggal di sini karena panas dan macet.
Kendati demikian, Dori juga memiliki tips untuk bisa bertahan hidup di kota ini. Khususnya bagi mahasiswa pas-pasan atau para pekerja berdompet tipis.
“Karena kalau mau nurutin apa kata BPS, kudu gaji 10 juta sebulan buat hidup enak di sini, ya orang-orang di sini nggak ada yang hidup enak karena gajinya di bawah segitu. Hahaha,” ungkap lelaki yang sudah delapan tahun di Ciputat, kala kembali dihubungi Mojok, Kamis (5/6/2025).
Lantas, apa tips untuk bisa menghemat biaya hidup di Ciputat, Tangerang Selatan?
#1 Warsun adalah sebaik-baiknya tempat makan
Untuk urusan makan, kata Dori, serahkan pada Warsun alias Warung Sunda. Warsun sendiri memang amat menjamur di Ciputat. Jumlahnya tak kalah banyak dengan Warung Nasi Padang ataupun Warung Tegal (Warteg).
Berdasarkan “analisis-empirik” yang sudah Dori lakukan bertahun-tahun, Warsun adalah tempat makan dengan harga paling murah dan konsisten. Memang tiap tahun ada kenaikan. Namun, kata dia, naiknya nggak signifikan alias konsisten murahnya.
“Beda sama Warung Naspad atau Warteg, Warsun ini kayak nggak niat cari untung. Apalagi kalau yang jualan asli orang Sunda, kebangetan murahnya.”
Di dekat kantornya, ia tak kesulitan mencari Warsun dengan harga miring. Biasanya, dengan harga Rp15 ribu, ia sudah bisa makan kenyang dengan menu nasi sayur, telur, dan es teh.
“Malah kalau beruntung, masih ada warung yang kasih paketan 10 ribuan. Tapi kan ini adu murah ya, bukan adu enak. Masalah enak nggak enak balik ke lidah masing-masing,” katanya.
#2 Kos induk semang sekitar kampus
Konon, biaya hunian di Ciputat, Tangerang Selatan amat mahal. Rata-rata harga kos saja menyentuh angka Rp1 juta per bulan. Namun, Dori memiliki tips untuk menekan pengeluaran biaya hunian.
“Cari kos induk semang. Banyak di sekitaran kampus,” kata dia.
Menurut Dori, mahalnya biaya kos di Ciputat karena fasilitas dan privilese yang lebih advance. Misalnya full AC, kamar mandi dalam, dan terpisah dari pemilik alias induk semang.
Namun, kalau menyingkirkan ego tersebut, masih banyak kos di sekitaran kampus yang harganya bahkan di bawah Rp500 ribu. Minusnya, ya, tidak ada AC, kamar mandi bareng-bareng, dan satu atap dengan induk semang.
“Nggak enaknya, ya nggak bebas. Tapi enaknya, selain murah, kadang kalau soal makan sering dikasih ibu kos. Hahaha.”
Saat masih kuliah, Dori mengaku tinggal di kos tipe ini selama empat tahun. Setelah kerja, ia memilih hunian yang lebih private dan bebas.
#3 Pakai transportasi umum, disclaimer: kalau sanggup macet!
Dori menjelaskan, transportasi umum di Ciputat, Tangerang Selatan sudah cukup baik. Segala moda, mulai dari angkot yang menghubungkan antarkelurahan, TransJakarta, hingga KRL Commuter, semua tersedia.
“Buat yang masih kuliah, ini membantu banget karena di UIN ada halte trans. Di kampus-kampus lain juga bisa terhubung via angkot,” jelasnya.
Namun, seperti yang pernah dia ungkapkan sebelumnya, “Ciputat tak cocok buat orang yang kesabarannya setipis tisu”. Sebab, kota ini memang sangat macet dan panas mataharinya nggak ketulungan.
“Memang ngirit pakai transportasi umum. Tapi ya lebih lama di jalan aja sih,” pungkasnya. “Kalau cara-cara tadi dilakuin, bisa lah kamu menekan biaya hidup di sini, paling nggak cuma keluar 2 juta sebulan.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza